“Menjadi guru itu adalah sebuah pengabdian, Pak. Kalau kami harus mengarungi lautan tidak apa-apa, asal murid-murid bisa belajar,” – Pak Darwin, salah satu guru honorer di SDN 17 Migori, Papua Barat

Pak Darwin adalah salah satu guru honorer di SDN 17 Migori yang terletak di Kabupaten Sorong Selatan, pelosok Papua Barat.

Ia dan 7 guru honorer lainnya mengajar 127 murid di SD Migori. Meski jumlah guru honorer di sana masih terbatas, mereka tetap semangat mengajar murid-muridnya.

“Kami senang bisa mengajar anak-anak di pelosok Papua Barat ini, Pak. Mereka sangat semangat dan rajin, kami jadi terus termotivasi mengajar mereka,” cerita Pak Darwin.

Namun, di tengah antusias mengajar murid-muridnya, Pak Darwin dan teman-temannya mengalami kesulitan dalam hal transportasi.

Bayangkan saja, mereka harus menempuh 7 jam perjalanan dengan kapal setiap kali mengajar.

“Guru-guru di sini bukan penduduk asli Kampung Migori, Pak,” cerita Pak Darwin. “Jadi untuk pergi ke sekolah kami harus sewa perahu yang harganya 5 juta sekali jalan.” Tambahnya.

Perjuangan guru di SDN 17 Migori tidak berhenti sampai situ. Mereka juga harus menghadapi cuaca dan kondisi air laut yang ekstrim.

Transportasi perahu ini sangat penting untuk mobilitas guru-guru yang terkadang harus bolak-balik ke Dinas Pendidikan maupun ke Ibu Kota Kabupaten.

“Perahu ini sangat penting untuk keperluan tugas kami sebagai guru, Pak. Namun, kondisi ekonomi kami belum mencukupi jika harus beli perahu,” kata Pak Darwin.

“Gaji kami sebagai guru honorer tidak seberapa, apalagi jika harus terus membayar sewa perahu. Kami berharap bisa memiliki perahu sendiri,” lanjut Pak Darwin.

Sahabat Baik, pendidikan adalah hak segala bangsa. Tidak terkecuali bagi anak-anak di Papua Barat sana. Mereka sangat membutuhkan perahu agar tak perlu lagi membayar biaya sewa yang mahal.