Di tengah kesulitan ekonomi dan kondisi fisik yang terbatas, banyak siswa disabilitas di pedalaman yang tidak berhenti berjuang untuk belajar di sekolah.

Setiap hari, demi bisa melanjutkan pendidikannya, siswa disabilitas di pedalaman tidak hanya belajar, tapi juga bekerja supaya bisa membiayai sekolahnya. Salah satunya seperti yang dilakukan Deni dan Doni.

Deni (19 tahun) terlahir tidak memiliki tangan. Ayahnya sudah meninggal dan ia hidup hanya bersama ibunya. Sehingga perjuangan Deni untuk melanjutkan kehidupan dan pendidikannya tidak mudah.

Deni harus berjalan sejauh 7 kilometer untuk sampai di sekolahnya. Karena rumahnya terletak di pelosok, Deni harus berjalan melewati perbukitan dengan medan yang berat.

Setelah pulang sekolah, Deni juga masih harus mengajar mengaji anak-anak di dusunnya serta bekerja di sawah. Meski upahnya hanya Rp15.000/hari, Deni tetap berjuang mengumpulkan biaya supaya pendidikan di sekolahnya tidak terputus.

Hal yang serupa juga dialami oleh Doni, adik kecil yang alami patah tulang dan kakinya menjadi bengkok/seperti terputar.

Meski harus bersusah-payah berjalan ke sekolah dengan kondisi kaki yang bengkok, Doni tidak hanya rajin belajar, tapi ia juga pandai mengaji. Bahkan Doni berhasil menjuarai lomba menghapal Al-Qur’an!

Namun, prestasi itu terancam terputus karena orangtuanya hanya buruh tani dengan upah minim yang cukup kesulitan membiayai pendidikan Doni.

Sahabat Baik, masih banyak siswa disabilitas di pedalaman yang berjuang supaya mereka tidak putus sekolah. Ayo kita sama-sama bantu mereka terus melanjutkan pendidikan!